RI Masih Kekurangan Pasokan Garam

Istimewa

RI Masih Kekurangan Pasokan Garam – Siapa sangka, negara maritim sebesar Indonesia, yang lautnya membentang lebih dari 90 ribu kilometer garis pantai, justru masih mengimpor garam dalam jumlah besar setiap tahunnya. Ironis? Jelas. Negara yang seharusnya jadi raja garam di Asia Tenggara justru tekuk lutut pada produk asing. Di balik kilau pembangunan infrastruktur dan narasi swasembada yang kerap di gembar-gemborkan, nyatanya ada fakta getir: RI masih kekurangan pasokan garam, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun industri.

Permintaan garam industri Indonesia yang mencapai lebih dari 4 juta ton per tahun belum mampu di penuhi oleh produksi lokal slot thailand. Di sisi lain, kualitas garam rakyat sering kali tidak memenuhi standar teknis industri karena kurangnya teknologi dan infrastruktur pengolahan. Maka, seperti penyakit kronis, impor menjadi solusi instan—meski jangka panjangnya menyakitkan.

NTB, Ladang Potensial yang Belum Digarap Maksimal

Nusa Tenggara Barat (NTB) kini dilirik sebagai tumpuan baru untuk membebaskan Indonesia dari ketergantungan impor garam. Provinsi ini menyimpan potensi luar biasa: sinar matahari sepanjang tahun, tingkat kelembaban yang rendah, dan lahan-lahan pesisir yang luas. Belum lagi masyarakat pesisirnya yang terbiasa hidup dari laut. Tapi kenapa selama ini NTB belum di jadikan sentra produksi? Jawabannya jelas: kurangnya perhatian serius dari pusat.

Selama bertahun-tahun, NTB hanya menjadi pelengkap dalam peta produksi garam nasional. Padahal, jika dikelola dengan tepat dan disuntik dukungan teknologi, NTB bisa menjadi penghasil garam berkualitas tinggi, bahkan untuk kebutuhan industri makanan, farmasi, hingga tekstil. Inilah momentum bagi pemerintah untuk berhenti hanya bicara dan mulai bertindak.

Dari Narasi ke Aksi: Saatnya Investasi Serius

Pemerintah menyebut akan menjadikan NTB sebagai salah satu pusat produksi garam nasional. Tapi publik sudah muak dengan janji manis. Masyarakat butuh bukti nyata. Investasi infrastruktur, seperti gudang penyimpanan, teknologi kristalisasi, sistem distribusi yang efisien, serta pelatihan bagi petani garam lokal harus segera digelontorkan.

Jangan lagi menjadikan petani garam sebagai korban permainan harga dan kebijakan impor. Mereka butuh kepastian pasar, perlindungan harga dasar, dan akses terhadap teknologi modern. Jika tidak, mimpi menjadikan NTB sebagai benteng produksi garam nasional hanya akan menjadi narasi kosong, seperti yang sudah-sudah.

Indonesia harus sadar: garam bukan sekadar bumbu dapur. Ini adalah komoditas strategis yang bisa jadi simbol kemandirian bangsa. Dan NTB, dengan segala potensinya, pantas menjadi pusat kejayaan garam nusantara—asal serius!